Indonesia semakin padat penduduknya, kaya raya, dan berpengaruh secara politik, terlepas dari sejarah kekejaman massal. Papua, Indonesia terdiri dari dua provinsi paling timur di Indonesia, Papua dan Papua Barat merupakan satu-satunya wilayah di negara Indonesia yang terus mengalami konflik bersenjata dan ketidakstabilan politik yang signifikan. Dalam beberapa tahun terakhir, kekerasan antara Orang Asli Papua yang sudah lama mendukung gerakan kemerdekaan Papua dan pemerintah Indonesia meningkat intensitasnya. Meskipun kekerasan skala besar terhadap penduduk sipil belum terjadi saat ini, tanda-tanda peringatan dini sudah terlihat dan menuntut perhatian kita.
“Jangan Abaikan Kami”: Mencegah Kekejaman Massal di Papua, Indonesia menjelaskan faktor-faktor di balik dua skenario berisiko tinggi, mengidentifikasi potensi peristiwa pemicu yang dapat berujung pada kekerasan terhadap penduduk sipil, dan mengusulkan rekomendasi tentang cara memitigasi risiko.
Dari pengamatan kami terhadap Holocaust dan genosida lainnya, kami tahu bahwa peristiwa seperti itu tidak pernah bersifat spontan. Peristiwa tersebut selalu didahului dengan serangkaian tanda-tanda peringatan dini. Jika tanda-tanda peringatan dideteksi dan penyebabnya diatasi, kita berpeluang besar untuk mencegah jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar.
Laporan ini merupakan salah satu komponen dari Proyek Peringatan Dini (Early Warning Project), yang mencakup penilaian risiko kekejaman yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Ini merupakan laporan kelima dalam serangkaian penilaian kualitatif yang mendalam yang disusun untuk membantu pembuat kebijakan, LSM, dan anggota masyarakat sipil dalam memahami dinamika kekejaman secara khusus negara yang dimaksud dan merekomendasikan tindakan pencegahan.
Latar Belakang
Laporan ini menilai risiko kekejaman massal (kekerasan sistematis berskala besar terhadap penduduk sipil) di Papua, Indonesia, dalam jangka 12–18 bulan ke depan. Sejak bergabung dengan Indonesia pada tahun 1969, Papua terus mengalami perlawanan politik dan pemberontakan bersenjata yang menuntut kemerdekaan yang ditanggapi pemerintah dengan pendekatan represif. Pulau ini juga merupakan rumah bagi Orang Asli Papua dan penduduk pendatang yang terus bertambah dan datang dari berbagai wilayah di Indonesia. Kondisi ini memicu timbulnya ketegangan antar-komunitas masyarakat selain konflik terkait tata kelola wilayah tersebut. Tren meningkatnya frekuensi insiden kekerasan memicu analisis tentang potensi kekejaman massal ini. Laporan ini didasarkan pada penelitian lapangan di Indonesia, termasuk di Papua, mulai dari bulan Maret hingga Agustus 2021, serta konsultasi dengan pakar dan tinjauan pustaka. Kerangka kerja konseptual dan pertanyaan penelitian laporan ini berasal dari kerangka kerja penilaian kekejaman yang dikembangkan oleh pemerintah AS.
Faktor Risiko Struktural
Lima faktor struktural yang menjadi penyebab timbulnya risiko kekejaman massal di Papua:
Indonesia memiliki sejarah kekejaman massal yang panjang.
Orang Asli Papua telah lama tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik; upaya negara untuk mengatasi keluhan mereka juga gagal.
Eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan negara dan multinasional Indonesia telah menjadi pemicu sengketa tanah, antipati Orang Asli Papua terhadap negara, serta ketegangan antara Orang Asli Papua dan penduduk pendatang di sana.
Tentara keamanan Indonesia di wilayah tersebut juga telah lama terlibat dalam pelanggaran HAM, tetapi tidak kunjung dituntut untuk bertanggung jawab sehingga membuat Orang Asli Papua semakin membenci negara.
Orang Asli Papua dan penduduk pendatang yang bermukim di Papua sering kali terlibat konflik terkait dengan masalah ekonomi, politik, agama, dan ideologi.
Faktor-Faktor Pemicu
Dalam konteks faktor struktural ini, yang telah lama ada dan sulit diubah, tiga faktor pemicu meningkatkan risiko dalam waktu dekat:
Aksi unjuk rasa, kerusuhan, dan mobilisasi masyarakat: ketakutan antara Orang Asli Papua dan penduduk pendatang Indonesia mendorong mobilisasi kelompok ke arah yang berbahaya.
Meningkatnya perpecahan antara Orang Asli Papua: perpecahan ini dapat menambah kerentanan penduduk sipil pro-kemerdekaan untuk menyerang dan/atau memimpin kelompok pro-kemerdekaan untuk mempertimbangkan tindakan ekstrem seperti memicu serangan ke penduduk pendatang yang rentan untuk menghimpun persatuan yang lebih luas.
Memanasnya konflik bersenjata antara pemberontak Orang Asli Papua dan tentara keamanan Indonesia: meningkatnya aktivitas oleh kelompok bersenjata telah memicu tanggapan brutal tentara keamanan Indonesia dan bahkan dapat mendorong tindakan penumpasan yang lebih keras, yang nantinya semakin meningkatkan antipati penduduk Papua terhadap negara dan popularitas gerakan pro-kemerdekaan.
Skenario Kekejaman Massal yang Beralasan
Kami mengidentifikasi terjadinya dua skenario kekejaman massal yang beralasan di Papua. Kedua skenario ini merupakan “skenario dengan kemungkinan terburuk,” bukan hasil akhir yang tidak dapat dihindari atau bahkan paling mungkin terjadi. Dalam kedua skenario ini, kekejaman akan dilakukan oleh milisi, dengan dukungan yang tidak pasti atau pembiaran dari tentara keamanan Indonesia, dalam menanggapi peningkatan aksi unjuk rasa dan/atau serangan pemberontak oleh Orang Asli Papua yang menuntut kemerdekaan dari Indonesia.
Meskipun sulit memperkirakan besarnya dan lamanya gerakan unjuk rasa, kami meyakini bahwa gabungan dari berbagai faktor seperti meningkatnya serangan pemberontak, koordinasi dan organisasi yang lebih baik dari organisasi sipil pro-kemerdekaan, dan kemudahan komunikasi memungkinkan aksi unjuk rasa pro-kemerdekaan dapat mencapai level baru dalam kurun 12–18 bulan ke depan.
Jika kerusuhan politik dan sosial terus berlanjut, dan jika itu menyebar ke seluruh wilayah, skala atau kegigihan aksi unjuk rasa tersebut kemungkinan besar akan membuat pemerintah Indonesia mengambil tindakan yang lebih parah, yang dapat berujung pada pembunuhan penduduk sipil skala besar.
Skenario A menggambarkan kekejaman massal yang dilakukan oleh milisi Orang Asli Papua pro-Indonesia, dengan dukungan dari militer dan polisi, terhadap Orang Asli Papua yang pro-kemerdekaan. Skenario ini tergantung pada kelompok Orang Asli Papua yang tetap terpecah belah.
Atau, jika Orang Asli Papua menjadi lebih bersatu dan berkoordinasi dengan lebih baik, yang dapat berujung pada Skenario B, di mana penduduk pendatang Indonesia dan tentara keamanan Indonesia melakukan kekejaman terhadap Orang Asli Papua (dianggap secara bersama-sama menentang negara Indonesia dan mengancam kepentingan penduduk pendatang).
Faktor Mitigasi dan Ketidakpastian
Beberapa sumber resiliensi mengurangi risiko di Papua, termasuk kelompok perempuan, media lokal Papua, serta organisasi masyarakat sipil non-politik. Selain itu, kami menyoroti sejumlah ketidakpastian penting yang harus dipantau secara saksama, termasuk taktik tentara keamanan dan pengunjuk rasa pro-kemerdekaan, meningkatnya kemampuan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan, dan kemungkinan peralihan dalam kebijakan militer Indonesia.
Saran
Kesimpulannya, kami menyarankan pemerintah Indonesia, pemerintah daerah dan setempat, masyarakat sipil, aktivitas pro-kemerdekaan, perusahaan multinasional, dan mitra internasional Indonesia untuk membantu mencegah kekejaman massal. Saran khusus ini terdiri dari lima langkah penting yaitu:
Meningkatkan kebebasan informasi dan memantau risiko kekejaman di wilayah Papua.
Menangani konflik di Papua melalui cara-cara yang tanpa kekerasan.
Menangani keluhan penduduk Papua dan faktor-faktor pendorong kpemuicu konflik.
Mengatasi potensi faktor pemicu ( flashpoint).
Mendukung upaya keadilan dan pertanggungjawaban